Sunday, October 7, 2012

Rinjani - Mimpi yang Tertunda

Gunung Rinjani

Mendaki gunung Rinjani mungkin menjadi impian bagi semua pendaki gunung Indonesia. Pesona gunung Rinjani yang sungguh indah yang saya baca di berbagai laman internet membuat saya memutuskan untuk pergi kesana, tanpa  persiapan matang, hanya berbekal niat saja. Pekerjaan kantor yang menumpuk juga  tak membuat niat saya surut. Pokoknya harus ke Rinjani, entah virus apa yang menyerang pikiran saya. Cari - cari teman untuk mendaki, sulit juga. Yasudah seadanya saja, dan asal aja nanti kalo naik kenalan dengan pendaki lain. Akhirnya tiket pesawat dipesan. 1 hari menjelang keberangkatan, saya masih di Manado untuk suatu kerjaan kantor. Benar - benar nekat. Karena saya sedang tugas di daerah, latihan fisik pun tidak pernah (haha.. alesan lagi tugas untuk menjustifikasi kesalahan saya sendiri yang tidak berlatih fisik dahulu). Tiket sudah, ijin dari kantor sudah, rencana perjalanan sudah, dan ciaaooooo... Pesawat ke Lombok langsung tancap pak Pilot!!

Sampai Lombok jam 18.00. Langsung dijemput oleh mobil carteran ke Sembalun, pos pendakian Rinjani. Gilee.. ini bukan perjalanan murah. Nggak kayak kisah pendakian lain yang heroik, ngeteng dari Jakarta sampai Lombok. Kita cari yang enak ajalah, tapi kantong jadi bolong.. Sampai Rinjani jam 22.00. Kita daftar ke mas - mas yang jaga sekaligus pesan porter untuk besok pagi (benar - benar bukan perjalanan heroik hahaha...). karena sudah malam kita langsung tidur aja di teras depan kantor pendakian, gelar matras dan groookkk....


Tiket masuk Rinjani


Besok paginya kita cari makan dulu, pup, mandi, sikat gigi, keramas, dll yang nggak bakal saya lakuin di gunung .Beneran lho, saya tidak menyentuh air selama 3 hari (bukan nggak mandi, tapi nggak menyentuh air, artinya cuci muka pun tidak haha...). Saya kesiangan sebenarnya untuk start pendakian. baru jalan pukul 9.00. Harusnya dari jam 6 sudah jalan. Yasudah kita lanjut saja. Medan awal pendakian sangatlah dataaaar..... Padang rumput dan savana dimana - mana. Bukit - bukit berada di kejauhan, seperti bukit di film Teletubbies. Jalan terus sampai mampus ini badan, kepanasan... Yap, panas sekali disini. Tidak ada iyup - iyupan. Minum minum minum, tapi perut jadi kembung, tenaga nggak ada, lemas...

Pos I menuju Pos II


Sampai pos II kita sudah tidak ada tenaga. Porter kami masak nasi. Katanya kalo disini harus makan nasi, kalo nggak makan bakal lemas. Saya sih nggak percaya awalnya, karena paling males makan nasi di gunung. Harus masak ini itu yang ribet. Enakan bikin mie hahaha... Tapi karena dipaksa mas porter, yasudah saya makan aja walaupun awalnya saya nggak doyan banget sama nasi bikinannya. Tanpa sepengetahuan dia, saya buang sisa nasi saya. Karena kata dia disini nggak boleh buang nasi. Tapi saya nggak bakal abis makan nasi dengan lauk mie instan ini, rasanya eneg banget, kayak mau muntah.

Habis makan nasi kita lanjut jalan ke pos III. Saat itu sudah jam 12 siang. Kata porter kami, kita nggak bakalan sampai ke Plawangan Sembalun hari ini juga karena kalo dipaksa bakalan kemaleman dan bahaya. Yauda kita ngikut aja apa kata dia. Kita jalan lagi dan buka tenda di pos bayangan sebelum pos III. Kata dia tempat ini lebih enak buat bermalam karena lokasinya ada di ceruk jadi tidak angin dan dekat dengan sumber air. Kita sampai di pos bayangan sekitar pukul 3 sore. Istirahat, cerita - cerita, makan, minum dan malemnya kita tidur aja nggak pake acara begadang. Perjalanan masih jauhhh..

Yummy!!

Besok paginya kita bangun, sarapan dan jalan lagi mulai pukul 9 pagi. Oya, setelah insiden makan nasi yang eneg itu, akhirnya kita makan nasi dengan lauk abon dan teri. Ternyata enak banget hahaha... Kita makan selalu tambah. Entah enak apa laper nggak taulah. Jalan dari pos bayangan ke pos III ternyata cukup dekat. Lanjut ke Palwangan Sembalun. Disinilah kita menemui bukit - bukit yang penuh tipuan. Rasanya sudah melihat puncak bukit yang paling tinggi, tapi setelah mancapai puncak bukitnya, ternyata itu adalah awal dari pendakian bukit selanjutnya. Begitu dan begitu terus... Sampai kami kehabisan harapan bahwa bukit didepan adalah bukit yang terakhir. Tanya sini situ, akhirnya tau kita ada di bukit keberapa dari akhir. Sempat juga ngobrol dengan bule Jerman memakai bahasa Salah Paham (biar Salah yang penting Paham haha..). Dia lagi turun habis dari puncak, kata dia di atas hujan dan selalu mendung, namun pemandangannya luar biasa. Waduhh, jadi kuatir kalo besok pagi hujan juga. Hari pertama sih terang benderang tanpa awan, tapi hari kedua ini memang cuaca tampak kurang bersahabat.

Puncak rinjani dari bukit - bukit penyesalan


Akhirnya setelah melewati medan berbukit - bukit, sampailah juga di Plawangan Sembalun sekitar pukul 3 sore. Danau Segara Anak harusnya keliatan, tapi cuaca sedang mendung sekali jadi ya cuma putih dimana - mana. Kaki sempat kram, oles - oles pake Counterpain biar nggak tambah sakit. Tanpa menunggu waktu lama, kita langsung lanjut ke lokasi tenda. Buka tenda dan cari kayu bakar. Oya, ini ada satu kesalahan kita lagi yaitu cuma bawa tabung bahan bakar 1 biji, dan dimarahin oleh porter hahaha,,, Tapi sebagai gantinya kita bawa beras 5 kg. Eh, selain itu kita juga nggak bawa rokok buat mas porternya yang alhasil bikin dia manyun sepanjang jalan. Untung aja di Plawangan Sembalun ini ada yang jual rokok. Jual rokok?? Apaaaaa??? Di ketinggian 2600-an mdpl?? Dan ternyata ada juga Coca-Cola, Pulpy Orange, Bir Bintang hahaha... Harganya pun selangit, sesuai dengan gunung Rinjani ini yang hampir menyundul langit.

Plawangan Sembalun


WC Darurat!!


Puncak Rinjani dari Plawangan Sembalun

Bukan ane gan..

Sampai di Plawangan Sembalun buka tenda dan persiapan untuk Summit Attack dini hari nanti. Kata mas porter sih, mulai jalan jam 3 pagi. Kondisi kita saat itu sudah kepayahan. Badan sudah drop, hasil dari tidak pernah latihan fisik. Selain itu logistik juga menipis. Yang ada hanya beras. Lauk pauk sudah ludes. Sebenernya sempet curiga sih sama pernyataan mas porter kalo kita jalan jam 3, karena pas liat di GPS Garmin Etrex Vista HCX (eaaaaa....), ketinggian masih 2600an, dan puncaknya ada di 3700an. Berarti masih nanjak 1000 meter lebih, dan pas liat peta Navnet di GPS juga terlihat kalo trek puncak terjal banget. Saya pikir, emang cukup ya waktu tempuh dari jam 3 pagi sampai Sunrise untuk nanjak sedemikian tinggi. Tapi yasudah malahannya pikir saya, waktu istirahat jadi lebih panjang. Akhirnya kita tidur dan berharap besok pagi cuaca cerah.

Bunga abadi


Besok paginya kita bangun jam 2, tapi masih susah bangun sih.. Akhirnya bangun beneran, makan mie instan (nggak ada nasi jadi terpaksa makan mie padahal sebenernya saya jadi kuatir kekurangan tenaga karena seperti kata mas porter kalo disini harus makan nasi biar kuat, kalo cuma mie nggak kuat) dan kemudian foto galaksi. Beruntung banget karena lagi cerah dan galaksi Bimasakti keliatan. Motret dengan kamera poket super Canon S95, makai mode Manual, RAW, f/2.0, 15 detik, dan ISO 3200, setelah beberapa kali percobaan, lalu... jepret!!

Habis itu kita mulai Summit Attack. Kawan saya berjalan cepat sekali. Saya,, entah mengapa tidak ada tenaga. Kaki rasanya lemas sekali. Untuk mengikuti jejak kawan saya itu saya tidak kuat. Padahal sewaktu naik sampai ke Plawangan Sembalun, saya ngacir didepan. Saat lihat kondisi sekitar, saya baru sadar kalo ternyata kita adalah rombongan terakhir yang naik ke puncak. Didepan sudah terlihat kelap kelip lampu senter para pendaki lain, yang sudah naik jauh keatas.

Jalur ke puncak benar - benar terjal, seperti yang sudah saya duga sebelumnya saat mengamati jalur puncak dari arah Plawangan Sembalun. Dari Plawangan Sembalun memang terlihat kalo awal jalur ke puncak memang akan sangat terjal karena naik tegak lurus keatas menuju punggungan bukit. Begitu sudah sampai atas punggungan, maka jalur akan lebih landai. Dan benar juga. Jalur yang sangat terjal hanyalah diawalnya saja. Namun terjalnya benar - benar luar biasa. Ditambah medan yang berpasir sehingga naik dua langkah turun satu langkah. Malah kadang tidak berpindah posisi sama sekali padahal sudah melangkahkan kaki. Saya mulai frustasi melihat medan yang berpasir sementara kawan saya mulai ngeri melihat jurang yang ada disamping jalur persis. Melihat jurang itu, kawan saya mulai membuka jalur sendiri, tidak ikut jalur yang sudah ada. Jalur yang dipilihnya pun sembarangan hahaha... Justru naik dengan kemiringan sekitar 60 - 70 derajat, kita harus merangkak naik dengan kedua tangan juga. Padahal waktu saya lihat kesamping, waduhhh, jurang yang lain sedang menganga lebar. Saya yang berpikir bahwa saat naik gunung selalu ikuti jalur yang sudah dibuka, mulai berteriak kepada kawan saya untuk kembali ke jalan yang benar. Tapi dasar bandel, bukannya kembali malah mencari jalur lain yang lebih aman (menurut dia, tapi enggak aman banget menurut saya).

Akhirnya kita sampai juga di punggungan bukit. Jalur berikutnya mulai melandai. Namun fisik saya sudah terlanjur ambruk. Di beberapa bagian, terdapat jalur yang seperti jembatan dengan kanan kirinya adalah jurang menganga, dan jalurnya hanya selebar 1 meteran. Ngeri kalo liat ke kanan kiri. Saya berjalan dengan sangat perlahan. Jujur saja saya mulai ragu untuk sampai ke puncak, terlebih jalur masih panjang, elevasi yang dituju juga masih jauh, dan jam mulai menujukkan waktu subuh. Saya mulai kehabisan waktu. Apalagi gerimis mulai turun. Yang tadinya rintik - rintik air berubah menjadi gumpalan air yang lebih besar. Saya beruntung memakai jaket waterproof plus hoodie. Namun kawan saya memakai jaket bukan waterproof dan tidak membawa jas hujan. Disitu kita mulai berpikir untuk balik. Mas porter juga sudah mewanti - wanti kalo udah terang harus langsung turun karena kalo udah terang nanti akan turun kabut dan perjalanan turun menjadi bahaya.

Saya lihat didepan sepertinya puncak, dan saat mengecek ke GPS terlihat kalau itu bukan puncak. Saya tidak percaya GPS saya dan berharap yang didepan adalah puncak. Saya jalan terus dan ternyata benar, itu bukan puncak melainkan pungungan bukit yang lebih tinggi dari punggungan yang lain. Dan saat itulah samar terlihat puncak Rinjani yang sebenarnya. Waduh saya jelas - jelas kehabisan waktu ini.

Kawan mulai mengajak untuk turun, sementara saya mencoba bertahan. Berjalan beberapa langkah lagi kedepan. Dan akhirnya mental saya langsung jatuh ketika bertemu porter bule yang turun, saya tanya puncak masih berapa lama, jawabnya 2 jam. Gileee.... Padahal waktu itu sudah mulai terang. Dan saya liat rombongan bule juga sudah mulai turun. Sepertinya banyak yang tidak muncak karena katanya puncak terlihat hujan deras.

Akhirnya saya dan kawan memutuskan untuk turun. Saat itu walaupun masih gelap namun rasanya kalau diteruskan ke atas, tentu masih butuh waktu lama dan kita khawatir saat turun nanti kalau ada kabut tentu berbahaya. Ditambah kita ingat terhadap jalur yang menyempit dengan kanan kiri jurang. Saya mengecek ke GPS, ketinggian kita ada di 3300an. Wah, masih ada 400 meter vertikal lagi nih. Nanggung tapi ya gimana lagi hahaha... Karena kita pendaki yang masih amatiran, kita tidak berani ambil resiko. Termasuk karena saat summit attack tidak ditemani oleh mas porter yang asyik menunggu di Plawangan Sembalun.

Saat turun, kabut dan hujan masih turun. Beberapa saat kemudian hujan berhenti dan kabut sempat membuka sebentar. Foto - foto!! Danau Segara Anak terlihat masih diselimuti oleh awan. Benar - benar panorama yang indah. Melihat keindahan ini, saya langsung bertekad akan menyusuri keindahan alam Indonesia lainnya. Tidak ingin ke luar negeri. Sudah cukuplah Indonesia saja, sudah kenyang!! Hahaha... Keindahan Rinjani dan danau Segara Anak tidak perlu saya ungkapkan. Cukup melihat foto - fotonya, atau liat di google sudah banyak sekali foto yang menggambarkan kedahsyatan pesona Rinjani.

Gunung Baru Jari di danau Segara Anak

Akhirnya kita turun dan sampai di Plawangan Sembalun lagi. Dan ada kabar buruk juga. Mas porter menyarankan untuk langsung turun saja lewat Sembalun, tidak perlu ke danau Segara Anak dan turun lewat Senaru. Kalau lewat Senaru katanya berbahaya karena baru saja ada longsor. Sementara kalau tidak jadi ke danau karena menurut mas porter kita sudah habis fisiknya, dan juga logistik tidak cukup. Saat itulah saya mengutuk diri saya sendiri yang tidak mempersiapkan perjalanan ini secara matang. Persiapan fisik dan logistik berantakan. Saya mengalah terhadap keputusan mas porter karena saya tidak berani ambil resiko jalan sendiri. Badan saya juga sudah lemas hahaha... Gara - gara perut buncit nih.

Turun ke pos I Sembalun dari Plawangan Sembalun ternyata sangat singkat. Sore hari jam 4 kita sudah sampai di pos pendakian. Hwahhhh,,, sangat menyesal karena gagal sampai puncak dan juga tidak turun ke danau. Fyuhh, saya bertekad suatu saat nanti harus datang kesini lagi dengan persiapan fisik dan logistik yang mantab.














No comments:

Post a Comment