Monday, April 2, 2012

Mendaki Papandayan - Perjalanan Singkat Berbau Kentut

Panorama Edelweiss



Ya, berbau kentut. Karena kawah gunung Papandayan memang mengeluarkan asap belerang yang sangat pekat, berbau busuk seperti kentut campur telur asin. Bahkan terasa perih dimata karena ukuran partikel yang bisa sebesar butir – butir pasir halus. Namun hal itu jelas tidak menyurutkan niat kami untuk mendaki gunung Papandayan, menikmati keindahan padang Edelweiss-nya dari dekat. Dan menyesap kesegaran udara pagi pegunungan sembari membersihkan paru – paru yang sudah kotor oleh udara kota.

Awal tahun nampaknya bukanlah waktu yang tepat untuk mendaki gunung. Banyak gunung yang sedang ditutup karena alasan konservasi. Beberapa diantaranya malah karena sedang dalam status yang membahayakan. Saya yang diminta oleh seorang teman untuk mencari gunung yang bisa didaki dan lumayan enteng buat para amatiran, akhirnya kebingungan. Sasaran utama: gunung Gede-Pangrango, tutup. Kemudian pindah ke gunung Papandayan, namun setelah kontak ke BKSDA Jabar, katanya masihditutup karena status Waspada. Gunung Salak? Ampun dech… Gunung Ciremai? Ampunnn…. Gunung Gunung di Jawa Tengah? Jauh.. Buat akhir pekan rasanya terlalu mepet. Semeru? Wah, sama sekali ga kepikiran. Akhirnya rencana ini sempat tertunda sampai saya membaca catper di Kaskus yang naik Papandayan di awal bulan Maret. Tanya – tanya, ternyata Papandayan tidak ditutup. Okelah sip!! Ini gunung yang cocok.

Jumat, 23 Maret 2012
Perjalanan dimulai dari Terminal Kp. Rambutan. Cari bis Wanaraja tujuan Garut. Naik dan sekitar pukul 09.00 WIB bis mulai jalan. Masuk tol Lingkar Luar dan… Macet total!!! Jalan tol Lingkar Luar macet. Rupanya libur 3 hari ini dimanfaatkan oleh warga Jakarta untuk keluar dari kepenatan kota Jakarta. Dan jadinya akses keluar Jakarta jadi macet total. Lamaaaa banget. Sampai di Karawang macetnya. Baru masuk tol Cipularang mulai lancar. Alhasil baru nyampai di Garut jam 3 sore. Hahaha… Padahal rencananya jam 3 udah buka tenda di gunung. Cari angkot ke Cisurupan, sampai sana ditawari ojek dengan harga 20 ribu/orang untuk sampai parkiran Papandayan. Tapi ketemu rombongan pendaki yang lantas ngajak untuk bareng naik pick up. 15 ribu/orang. Sampai parkiran jam 6 sore kurang. Urus perijinan, persiapan, foto – foto (ada cewek dari rombongan sebelah yang terpesona oleh Deuter saya, dan minta difoto bareng, sayang bukan sama orangnya tapi sama tasnya, hiks hiks..) dan jalan!! Tepat pukul 18.00 WIB.

tas-nya cakep ya mbak..

Melewati kawah, wuahhh, ini bau banget.. Lebih bau dari kentut saya sendiri. Ambil sapu tangan, jadikan sebagai masker. Sekaligus buat ingus saya yang bolak – balik meler, maklum masih flu ringan, haha.. Jalan masih relatif datar, naik dikit yaaa, tapi masih okelah. Saya bawa ransel yang beratnya pasti 15 kg lebih. Isinya ada tenda, air 3 liter, nesting, kompor, tripod kamera. Hehe.. Saya mau cobain bawa semua itu kayak gimana. Sekitar 30 menit, kami nyampai di pinggir kawah dengan posisi paling tinggi. Suara kawah yang menggelora terdengar jelas. Seperti suara air terjun. Saya jalan paling belakang, maklum paling lambat, haha..

Lanjut jalan lagi. Loh? Kok buntu?? Tanya sama rombongan, ternyata juga pada nggak taujalan. Wualah.. Cek di GPS Garmin Etrex Vista HCX (ceilee…) yang udah diisi peta jalur pendakian. Oh, ternyata salah jalur. Harusnya belok kanan tadi. Balik lagi. Ambil jalan yang bener. Tapi kok nggak meyakinkan. Jalannya turun tajam. Naik gunung kok malah turun. Ya sudah jalan saja. Turun terus. Wah, ini namanya track bonus!!! Tapi kebayang pas pulangnya pasti harus naik, haduhh…

Setelah turun, menyeberang sungai kecil, naik lagi. Lumayan ini naiknya. Ngos – ngosan. Botol minum 500 ml saya airnya mulai habis. Lupa diisi pas sebelum berangkat. Cuma 1/3 isinya pas mulai naik. Mana pas berhenti diminum oleh seorang teman secara tidak kira – kira. Jadi tinggal 1 cm lagi. Haha.. Ada seorang pendaki yang fisiknya drop, muntah – muntah. Wualah bahaya ini gan… Tunggu dia dulu. Lumayan juga sambil istirahat, haha.. Lanjut jalan lagi, mulai tidak nanjak. Relatif landai. Dan nggak lama kemudian sampailah di pos Pondok Salada pukul 20.15 WIB.

Benar juga kata penjaga dibawah tadi, ada 350 orang yang udah di Pondok Salada. Ini udah banyak banget tendanya. Yasudah, cari tempat yang cocok, buka tenda, masak air, makan. Lihat – lihat bintang, bagus banget. Ada galaksi Bimasakti juga (sok tau, hehe..). Mulai kedinginan. Ambil fleece. Buka sleeping bag, ngorookkk.. Grookkkkk…..

Sabtu, 24 Maret 2012
Pagi bangun jam 03.00. Summit Attack?? Ogah ah.. Duingin poll.. Tidur lagee…..

Jam 06.00. Matahari udah lumayan tinggi. Haha.. Bangun, liat liat sekeliling. Wuih beneran rame. Tapi kayaknya nggak ada yang Summit Attack, haha.. Foto – foto. Masak – masak. Berhubung saya pendaki bertipe Pragmatis, jadinya masak Indomie Jumbo. Campur kornet. Dan jadinya wueekkk.. Menjijikkan. Nggak ada orang lain yang mau ikut makan. Yasudah saya habiskan sendiri. Saya juga eneg lama kelamaan. Nggak habis.

Pukul 08.00 kami bersiap jalan ke Tegal Alun, tempatnya padang Edelweiss. Tenda dan perlengkapan lain ditinggal. Bawa minum, kamera, dan tripod. Jalannya terjal banget. Batu – batu. Nggak kebayang kalo bawa ransel. Bisa ngguling kebelakang nih, haha.. Naik – naik, wuhh, lumayan capek nih. Jalurnya ada yang bisa nyampai 70 derajat. Tapi begitu memandang kebelakang, wuah, bagus sekali. Tempa tkemah para pendaki terlihat di kejauhan. Tenda warna – warni di sebuah padang rumput. Indah. Lanjut jalan lagi, dan sampailah di padang Edelweiss. Dari tempat kemah paling cuma butuh waktu 45 menit.

edelweiss

edelweiss lagi..

Cari lokasi yang luas, foto – foto. Lama sekali foto – foto disini. Karena padang Edelweiss ini sebenaranya tujuan kami. Foto sana foto sini, sampai bosan. Tanya sama rombongan lain yang baru turun dari atas, puncak berapa lama? Cuma 3 menit jawabnya. Hah?? Yasudah jalan bentar keatas untuk sekedar menjejakkan kaki dipuncak. Di puncak tidak terlalu bagus. Lokasinya seperti hutan. Penuh dengan pohon. Tapi ada satu tempat dimana kita bisa melihat ke kejauhan. Tenda para pendaki terlihat dari sini. Di kejauhan juga terlihat hutan mati. Pohon – poho nyang sudah mati dengan tanah tandus.

rumah teletubbies

Puas di puncak kami turun. Sampai di lokasi kemah, bongkar tenda. Packing. Dan turun. Saat turun itulah kami mengerti kenapa pada saat naik kami sempat kesasar. Ternyata itu sebenarnya jalur asli pendakian, namun kena longsor dan jadinya terputus. Walhasil, jalur pendakian akhirnya dialihkan, harus memutar. Turun dulu kebawah, baru naik lagi. Kalau saja jalur pendakian asli tidak terputus, tentu waktu tempuh pendakian akan super cepat. Sampai di parkiran sekitar pukul 13.00. ketemu seorang teman yang menawari untuk naik pick up bareng untuk ke Cisurupan. Oke. Tunggu pick up dateng sekitar sejam. Pulang….

Ijo Royo Royo

Kawah Papandayan

Kawah Papandayan



Detil Perjalanan
Jumat,23 Maret 2012
09.00 :Berangkat dari terminal Kp. Rambutan
15.00 :Sampai terminal Garut
16.00 :Naik angkot ke Cisurupan
17.00 :Sampai Cisurupan, naik pick up ke parkiran Papandayan
18.00 :Start Pendakian
20.00 :Sampai Pondok Salada

Sabtu,24 Maret 2012
08.00 :Naik ke padang Edelweiss dan puncak
09.00 :Sampai, foto – foto
10.30 :Turun ke Pondok Salada
11.00 :Turun ke Parkiran
13.00 :Sampai di parkiran, tunggu angkot
14.00 :Turun ke Cisurupan, bersih – bersih, lanjut naik angkot ke terminal
17.00 :Pulang ke Jakarta

IMG_0967_8_9_tonemapped
Padang Edelweiss

IMG_1002_3_4_tonemapped
Padang Edelweiss

IMG_0989_90_91_tonemapped
Padang Edelweiss (lagi...)


No comments:

Post a Comment