Thursday, February 2, 2012

Perjuangan Pendaki Amatir Menuju Puncak Gunung Gede


Bekerja di sebuah instansi pemerintah yang bergerak di bidang survei pemetaan ternyata belum memenuhi hasrat menjelajah alam bebas saya. Karena saat turun ke lapangan, yang dicari bukan pemandangan memukau dari tempat – tempat eksotis di bumi Indonesia. Yang dicari tentu saja: data spasial dari permukaan bumi. Saat suntuk di kantor, kakak perempuan saya memberi kabar bahwa dia dan teman – teman kantornya akan mengadakan pendakian masal ke Gunung Gede, 30 April – 1 Mei 2011. Tawaran yang menarik. Dia dan teman – temannya yang bekerja di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memiliki suatu wadah bagi hobi petualangan mereka, dinamakan Korsapala (Korps Pemeriksa Pecinta Alam). Haha.. instansi saya yang selalu bekerja di lapangan malah tidak punya yang beginian, sepertinya sih sudah pada bosan ke lapangan, memilih main ke mall.

Tawaran tersebut langsung saya terima. Karena ini pendakian pertama saya, saya perlu mempersiapkan segalanya. Peralatan dan fisik. Saya rajin naik sepeda ke kantor. Kemudian saya juga sesekali olahraga ringan skipping selama 30 menit dirumah. Peralatan pribadi yang diperlukan seperti tas carrier, sleeping bag, jaket tebal, matras saya siapkan. Tas dan sleeping bag saya sewa dari sebuah tempat persewaan alat outdoor. Hasilnya ternyata sangat mengecewakan. Tas yang katanya 60 Liter, ternyata hanya tas ransel butut, yang saya yakin sangat tidak nyaman dipakai. Tidak ada penyangga punggung. Yang paling parah sleeping bag-nya, waktu saya iseng mencobanya dulu di rumah, badan saya gatal – gatal semua. Jadi saya jemur dulu. Ah, ya sudahlah yang penting ada barangnya. Jaket saya beli di Cartenz. Waterproof dan ada dua set, dalam dan luar. Harganya cukup mahal, 499 ribu. Tapi bagus sih jadi saya beli juga.


Menjelang hari pendakian, saya dibingungkan oleh kerjaan kantor yang mengharuskan saya berangkat ke Medan selama beberapa minggu, termasuk pada hari yang sudah dijadwalkan untuk pendakian. Saya sempat membatalkan keikutsertaan saya dalam pendakian. Namun karena ada acara dari kantor juga di Jakarta yang harus saya datangi, bos saya mengganti penugasan saya ke Jakarta. Dan itu berarti saya bisa ikut pendakian masal ini.

Beberapa hari sebelum keberangkatan, saya janjian dengan rombongan yang akan berangkat dari Jakarta. Saya akan menunggu di pertigaan Gadog, Ciawi. Rombongan akan berangkat naik truk tentara. Total semua peserta ada 34 orang, banyak banget. Jadi malam hari tanggal 29 April saya berangkat dari Cibinong ke Ciawi. Saya sampai di pertigaan Gadog sekitar jam 21.00. Sambil menunggu rombongan, saya menyeruput kopi dan melahap sejumlah gorengan di warung di samping pertigaan. Ternyata rombongan baru mulai berangkat dari Jakarta. Ya sudah saya menunggu lumayan lama. Sempat juga mengobrol dengan preman setempat, yang ngakunya dulu pernah jadi Ranger di Cibodas. Dia menyarankan untuk naik lewat Cibodas karena jalurnya lebih landai. Rombongan kami sendiri berencana naik lewat jalur Gunung Putri. Si preman itu bilang kalau jalur Gunung Putri tidak disarankan untuk pemula. Nyali saya jadi ciut juga dengernya. Sudah dandan keren begini, tapi nyali ciut, hadeuh..

Sekitar pukul 22.00, truk tentara itu datang juga. Saya langsung naik lewat belakang. Dan, ternyata isinya mirip grup pengungsian. Orang – orang berjubel di atas truk. Saya cari tempat kosong. Kenalan dengan pemimpin rombongan, basa – basi sebentar, dan mencoba untuk tidur. Ternyata susah sekali tidur. Panas dan berisik. Jadi cuma tidur – tidur ayam saja. Lumayan biar besok tidak mengantuk.

Perjalanan membosankan ini akhirnya selesai setelah menempuh waktu sekitar 2 jam perjalanan. Sebenarnya truk belum benar – benar sampai di tempat tujuan, namun sopir beralasan truk tidak mampu lagi masuk lebih jauh, terpaksa kita jalan kaki sekitar 1 km. Begitu turun dari truk, kabut tebal langsung menyergap kami. Dinginnya udara mampu mengalahkan rasa kantuk. Saya langsung mengambil tas dan berjalan bersama ke tempat tujuan, sebuah rumah penduduk yang dijadikan tempat peristirahatan sebelum mendaki. Jalan kaki sepanjang 1 km ini lumayan melelahkan juga, padahal kita belum start pendakian tapi kaki dan punggung sudah cukup capek. Yah, hitung – hitung buat pemanasanlah.

Setelah mencapai rumah yang dituju, kami merebahkan badan. Karena jumlah kami yang banyak maka kami terpaksa berdesak – desakan. Yang penting bisa istirahat. Tapi banyak juga yang malah asyik ngobrol. Saya memilih untuk beristirahat setelah sebelumnya ikut ngobrol sebentar. Malam itu diumumkan bahwa kita harus bangun pukul 04.00 esok paginya untuk persiapan pendakian yang direncakanan sekitar pukul 05.00.

Pukul 05.00 saya bangun. Sudah ada yang bangun tapi ada juga yang belum. Saya menuju ke masjid untuk menunaikan sholat subuh. Air wudhu terasa sangat dingin. Setelah sholat saya beres – beres lagi, packing ulang, sarapan dan sekitar pukul 07.00 kami semua siap. Seperti dugaan saya tadi malam, pasti susah untuk berangkat sebelum matahari terbit. Kami berjalan menuju pos Gunung Putri untuk mengurus perijinan. Dan ternyata itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Hampir satu jam rasanya. Karena kita baru bisa lepas pada pukul 08.00 lebih malah mendekati jam 09.00 kalau tidak salah.

Tangga dari akar
Jalur pendakian dimulai dari jalan setapak di perkebunan milik warga. Jalannya cukup landai awalnya namun di akhir perkebunan mulai naik turun. Para pendaki banyak yang langsung kebut diawal. Kami sebenarnya dibagi menjadi beberapa kelompok, namun nampaknya kurang efektif karena begitu jalur mulai menanjak maka hukum alam pun berlangsung. Yang punya dengkul dewa langsung ngacir di depan. Saya sendiri tadinya mau ikut ngacir, tapi kok badan tidak sanggup. Jadi ya sudah saya pasrah saja dengan keadaan, hehe..

Memasuki area hutan yang lebat, napas saya mulai tersengal – sengal. Efek dari tidak pernah berolahraga ini. Kalau kaki rasanya masih kuat, tidak menunjukkan rasa capek, namun napas sepertinya sudah mau habis. Jalur yang tadinya menanjak sedikit secara perlahan mulai menunjukkan jati dirinya, haha.. Jalur Gunung Putri memang jauh lebih terjal dibanding jalur Cibodas.

Mulai melewati pos – pos, jalur semakin terjal lagi dan menjurus pada kegilaan. Haha.. Sebenarnya saya lupa pos apa saja yang dilewati karena ini pendakian pertama saya jadinya saya tidak terlalu ngeh dengan keberadaan pos – pos ini, ditambah ini pendakian massal jadi saya cuek saja. Jalur ini memang beneran terjal, kadang kita harus benar – benar menanjak sampai mendekati 90 derajat. Beberapa pendaki perempuan harus ditarik dengan tangan dari atas. Jalur pendakian berupa jalan setapak yang seperti tangga namun dari akar pohon. Tangga disini bukan seperti tangga batu yang ada di Cibodas, namun jalan setapak tanah yang bertingkat - tingkat. Jarak setiap tingkat sekitar 50 cm atau bahkan lebih. Setiap kali naik, rasanya memerlukan tenaga dan napas yang luar biasa. Itulah mengapa pendaki perempuan sering ditarik dengan tangan dari atas.

Jalan Menanjak
Tas ransel saya mulai menunjukkan kualitasnya yang buruk. Punggung rasanya panas dan sakit sekali. Namun sepatu saya yang Hitec abal – abal lumayan membantu, terutama karena potongannya menutupi mata kaki sehingga saya tidak mudah terkilir. Solnya juga lumayan bagus. Saya perhatikan, solnya sebenarnya mirip sekali dengan sol Hitec asli, malah mungkin beneran asli. Hanya saja bagian lainnya saya yakin palsu. Mungkin ada orang yang bisa mendapatkan sol Hitec untuk kemudian dijahit sendiri menjadi sepatu. Lanjut naik terus, rombongan mulai kocar – kacir. Grup – grup yang dibagi diawal sudah kacau. Yang penting muncak deh.. Saya tadinya memilih bareng sama kakak perempuan saya, namun karena dia sering istirahat dan menyuruh saya duluan, saya duluan saja. Akhirnya bareng dengan bos-nya kakak saya. Hebat juga, diumur yang tidak muda lagi namun masih semangat naik gunung.

Perjalanan ini rasanya lama sekali. Medan yang sama, perlahan – lahan membuat saya sedikit bosan. Bosan karena saya sudah capek sekali, kalau tidak capek ya pasti semangat. Lelah karena mendaki terus pada tanjakan yang mirip. Tiada akhir. Setiap ada pendaki yang bertanya kepada pendaki lain yang sudah berpengalaman, selalu dijawab bahwa kami sudah dekat dengan lembah Surya Kencana. Disanalah kami akan beristirahat malam ini. Namun jawaban yang menyejukkan itu langsung kandas apabila kami berpapasan dengan pendaki yang turun, dan menjawab lembah itu masih jauh. Haha.. Keadaan diperburuk dengan turunnya hujan. Kecepatan berjalan semakin lambat. Tenaga juga jauh lebih terkuras.

Pukul 12.00 kami masih berada pada jalur pendakian yang sungguh melelahkan. Ada yang mulai memakan nasi bungkus yang sudah disiapkan pagi tadi. Saya sendiri memilih makan biskuit dan minum madu. Belum tenang rasanya kalau belum mencapai tujuan. Disini yang bisa dilihat hanya hutan belantara dengan kanopi pohon yang menutupi cahaya matahari. Sebenarnya udaranya sangat sejuk, namun karena tubuh kecapekan, jadinya berkeringat yang bikin rasanya gerah sekali. Hujan sudah mulai berhenti.

Bunga Edelweis
Alun – alun Surya Kencana akhirnya saya capai pada pukul 14.30. Indah sekali karena dipenuhi oleh bunga Edelweis yang melegenda itu. Saat itu sudah ada  beberapa pendaki lain didepan saya yang sudah duluan sampai. Buka matras dan kemudian menyantap makan siang berupa nasi bungkus yang sudah disiapkan pagi tadi. Sayurnya sudah basi, tapi ya biarinlah yang penting masih ada lauk lainnya. Tak lama setelah makan, hujan turun kembali. Kami segera bergegas mencari tempat yang nyaman untuk membuka tenda. Pukul 16.00, semua pendaki rombongan kami sudah lengkap. Karena hujan, kami cuma bisa berada di dalam tenda. Malam hari dihabiskan dengan memasak mie instan campur sosis. Besok rencana summit attack pukul 04.00, yang saya tahu sepertinya tidak mungkin buat saya hehe..

Pukul 05.00, saya dibangunkan oleh suara ajakan untuk summit attack. Wualah, kaki masih pegel begini, saya memutuskan untuk tidak ikut. Di dalam tenda saya juga tidak ada yang tertarik. Namun akhirnya ada yang berubah pikiran, ikut juga naik ke puncak. Kemudian pukul 07.00 para pendaki yang summit attack tadi sudah turun lagi. Acara dilanjutkan dengan masak – masak. Pendaki di tenda saya, kalau di dunia politik, mungkin termasuk golongan pragmatis. Haha, kita masak yang asal cepet dan enak. Mie instan lagi, campur sosis dan bumbu lainnya. Sementara tenda sebelah mungkin termasuk kaum tradisional. Masak beras, bikin sayur, goreng tempe, hahaha… Sudah seperti dirumah saja.

Karena keasyikan masak dan bermain, kami baru naik ke puncak pukul 10.00. Itupun karena kabut turun dengan tebalnya ke lembah ini. Mau tidak mau kami harus berkemas. Lanjut naik lagi sampai puncak. Perjalanan ke puncak tidak terlalu berat. Mungkin karena dekat sehingga cuma dibutuhkan waktu tidak sampai satu jam.

Gunung Pangrango dari Puncak Gunung Gede
Sampai di puncak saya mengucap syukur. Memang indah sekali alam Indonesia. Kawah gunung Gede yang begitu luas, dan dikejauhan sekilas terlihat puncak gunung Pangrango membuat saya semakin mencintai alam Indonesia. Cuaca tidak terlalu baik saat kami sampai. Hujan turun dengan sangat deras tidak lama setelah itu. Upacara sederhana dilaksanakan dibawah guyuran hujan.

Tidak ingin berlama – lama di puncak, kami segera turun. Melipir melalui pinggiran kawah gunung Gede, ngeri juga kalau lihat kearah kawah. Apalagi hujan sangat deras, saya takut kalau sewaktu – waktu longsor. Jalur yang akan kami lalui untuk turun adalah jalur Cibodas. Katanya jalur ini lebih landai daripada jalur Gunung Putri.

Setelah berjalan sekitar satu jam, kami bertemu dengan Tanjakan Setan. Wuidih, memang seperti namanya. Untung kami melewatinya untuk turun, ditambah hujan sudah reda, jadi tidak terlalu berat. Kami sampai di pos Kandang Badak untuk beristirahat sejenak sambil mengumpulkan anggota. Kemudian lanjut ke Kandang Batu dan turun terus sampai Panyangcangan. Kami sampai di Panyangcangan pada waktu hari sudah gelap, sekitar pukul 19.00.

Jalur dari Panyangcangan ke Cibodas adalah tangga batu, bukan tanah seperti dari puncak tadi. Tangga batu ini justru tidak begitu enak dilalui karena keras. Guncangan tas butut semakin terasa. Apalagi sepatu saya yang sebenarnya kesempitan mulai memberi pengaruh buruk, kuku jempol saya sepertinya menusuk dagingnya. Karena waktu turun kaki saya digunakan untuk menyetop laju, jadinya kuku saya bisa menusuk begitu. Sakit sekali.

Pukul 20.00 kami sampai di pos Cibodas dan melapor, kemudian kita ke warung untuk mandi dan istirahat. Truk sudah menanti disana. Pukul 21.00 kami meninggalkan Cibodas. Selamat jalan gunung Gede, pemandangan yang memukau dan pengalaman yang mengesankan dari pendakian ini tidak akan pernah saya lupakan.

Detil Perjalanan
Jumat, 29 April 2011
21.00 Pertigaan Gadog, Ciawi
24.00 Sampai di pos pendakian jalur Gunung Putri

Sabtu, 30 April 2011
07.00 Urus perijinan
08.30 Start Pendakian
15.00 Sampai di Alun - alun Surya Kencana, istirahat

Minggu, 1 Mei 2011
05.00 Summit Attack (tapi saya nggak ikutan)
07.00 Tim Summit Attack balik
10.00 Seluruh rombongan Summit Attack
11.00 Sampai di puncak
13.00 Turun
19.00 Pos Panyangcangan
20.00 Pos Pendakian Cibodas
21.00 Pulang

No comments:

Post a Comment