Saturday, January 21, 2012

Menggapai puncak Gunung Pangrango 3019 mdpl (Part 1)

Setelah mencapai puncak Gunung Gede pada bulan April 2011 kemarin, ingin rasanya menikmati kembali sejuknya hawa pegunungan. Rasa capek luar biasa yang dirasakan ketika pendakian kemarin sudah lupa dan harus dilupakan (kalau tidak dilupakan, nggak bakal ada keinginan naik gunung lagi, hehe..). Memang benar kata seorang kawan, “mendaki gunung itu candu”. Dan rasanya saya sudah mulai menjadi seorang pecandu.

Setiap hari saya sempatkan membuka forum Outdoor Activity and Nature Club (OANC) di Kaskus. Entah hanya sekedar iseng baca catatan perjalanan (ini yang namanya racun) ke berbagai gunung di Indonesia, atau baca lapak jualan peralatan tempur. Kadang ada yang nyangkut di hati juga, dan akhirnya deal, transfer duit, barang dikirim, barang nyampe rumah, dan senang rasanya walaupun terus jadi males ngintip saldo tabungan. Beberapa barang saya beli dari Kaskus, ada sepatu Hitec Altitude Ultra Luxe WPi (yang High Cut dan Low Cut, yang high cut saya beli duluan buat kerjaan survei pemetaan ke Papua, yang low cut buat sehari – hari aja biar gaya, hehe. Sebenernya saya merasa bodoh juga karena punya dua pasang sepatu yang sama persis, serinya sama, cuma beda potongan atasnya saja), ada lagi tenda Consina SummerTime yang tadinya ngincer seri ultralight tapi uda keburu abis akhirnya beli yang biasa, trus ada juga sleeping bag Makalu 700 yang super ringan dan super kecil dan harga juga super ekonomis, ini baru ultraligth dan ultrasavemymoney.


Saat itu pandangan mata saya tertuju pada trit di OANC Kaskus, isinya ajakan mendaki gunung Pangrango, tanggal 26-27 November 2011. Ajakannya pada hari Sabtu – Minggu, pas sekali karena saya tidak perlu bolos kerja. Waks, maksudnya cuti. Bisa berangkat Jumat malam dan balik Minggu malam. Apalagi ajakannya berupa pendakian santai, cocok buat saya yang tidak punya dengkul racing double gardan ini. Langsung minta ijin sama empunya trit buat memperbolehkan saya yang newbie ini untuk ikut mendaki bareng.  Setelah mendapat persetujuan, saya mulai mencari korban yang mau diajak ngos – ngosan ria sepanjang perjalanan menggapai puncak gunung Pangrango. Satu persatu teman kantor saya komporin, dan ternyata gagal total. Tidak ada satupun teman kantor yang berminat. Sempet frustasi juga, dan menjurus ke arah depresi. Kantor yang bergerak di bidang survei pemetaan, kok pada nggak ada yang mau diajak naik gunung. Maunya ke mall. Duenggg… Akhirnya ada satu yang mau walau nggak janji pasti ikut, teman kantor sekaligus teman kuliah dulu.

Persyaratan administrasi untuk mendaki saya lengkapi, fotokopi KTP dan uang pendaftaran sebesar Rp 10.000,-  yang ternyata sudah ditanggung oleh empunya gawe, tinggal nanti bayar ke dia pas hari-H. Setelah fotokopi KTP saya setor, saya mulai mempersiapkan alat tempur ajaib entry level. Mulai mendekati hari yang dinanti, teman saya ternyata dapet tugas untuk survei ke daerah Papua. Wah, harus cari gantinya nih. Cari sana – sini, akhirnya dapet juga si Ebi, temen kuliah dulu yang sekarang lagi liburan di Jakarta. Alasannya dia yang tidak mau ikut karena tidak punya sepatu langsung gugur karena saya langsung menawarkan sepatu Hitec low cut saya. Sip deh.

Dua hari sebelum pendakian, hari Kamis, saya justru pergi ke Semarang untuk menghadiri sebuah acara aneh bin ajaib. Saya belum sempat packing. Pikir saya nantilah bisa. Jadwal pesawat pulang hari Jumat sekitar jam 16.00. Pas deh. Nyampe Soekarno-Hatta jam 18.00, nyampe rumah jam 20.00. Tapi ternyata saya lupa, pesawat yang saya naiki ber-merk Singa Udara yang tersohor itu. Akhirnya saya baru nyampai di rumah jam 22.00. Si Ebi malah sudah tertidur menunggu saya. Akhirnya setelah packing kilat, dan berangkat juga dari rumah sekitar pukul 22.00 lebih dikit. Bismillah…

Saya naik bis dari Cibinong ke Bogor, kemudian lanjut naik angkot ke Ciawi. Disini katanya ada bis yang bakal mengangkut kami ke Cibodas. Di Ciawi saya muter – muter mencari bis ini, malah ketemu serombongan pria jantan dengan dandanan ala pendaki gunung dengan ransel sebesar lemari di punggung. Tanpa pikir panjang langsung saya dekati, “Kaskuser ya gan?”. Beruntunglah kami karena ternyata mereka benar kaskuser yang mau ke gunung Pangrango, berarti satu rombongan juga, dengan pemimpinnya yang namanya Kang Ndar. Saya ingat, jumlah peserta yang tercatat untuk pendakian ini ada sebanyak 69 ekor. Gila!! Ini rekor jumlah peserta terbanyak dalam satu rombongan. Bukan tim pendakian namanya, tapi sekumpulan anak TK nol besar yang mau studiwisata. Bisa – bisa gunung Pangrango roboh, tidak kuat menahan beban rombongan sebanyak ini.

Bis berangkat dari Ciawi sekitar jam 23.00, saya lupa pastinya, dan sampai di Cibodas setelah menempuh sekitar 2 jam perjalanan. Saya dan rombongan dari Ciawi turun dan berkumpul dengan rombongan kaskuser yang lain. Tak lama, rombongan dari Jakarta datang. Peserta pendakian mulai tampak bergerombol. Untuk menyimpan energi, kami beristirahat dulu di warung Mang Idi. Saya dan Ebi ternyata tidak kebagian tempat, dan akhirnya memilih warung lain. Tanpa cas cis cus, kami langsung terlelap.

Pagi pukul 05.00 saya dibangunkan Ebi untuk solat Subuh. Brrr… baru di Cibodas saja sudah dingin begini. Setelah solat, saya menyempatkan diri untuk meninggalkan isi perut di Cibodas, supaya saat pendakian perut tidak berontak ingin mengeluarkan isinya. Ide ini saya usulkan ke Ebi, namuun ditolak, yang akhirnya menjadi penyesalan yang cukup mendalam baginya nanti saat pendakian.



DSCN0058
Persiapan
Pukul 07.00, pendakian dimulai. Sang empunya trit, Nanunk, sempat mengurus perijinan dulu yang tidak memakan waktu terlalu lama. Pendakian ini akan melalui rute sebagai berikut: Cibodas – Telaga Warna – Rawa Gayonggong – Panyangcangan – Air Panas – Kandang Batu – Kandang Badak – Puncak Pangrango – Lembah Mandalawangi. Medan di awal pendakian berupa tangga batu yang sebenarnya tidak terlalu menanjak lumayan bikin ngos – ngosan. Si Ebi justru ngacir duluan. Ah, nggak peduli, jalan nggak sama dia juga nggak apa – apa. Ada juga para pendaki lain dari Kaskus, saya bareng mereka saja.

Sampai di Telaga Warna berhenti sebentar. Minum air. Ketemu sama si Ebi disini. Saya baru berhenti, dia sudah mau jalan lagi. Ya sudah saya ikut jalan, dan pada akhirnya ketinggalan juga sih. Melewati Rawa Gayonggong, saya berhenti sebentar. Saya lihat si Ebi masih ngacir duluan. Saya jalan santai saja kalau begitu. Namanya juga Pendakian Santai. Pos Panyangcangan yang merupakan persimpangan antara jalur pendakian dengan jalur ke air terjun Cibeureum saya capai sekitar pukul 09.00. Di pos ini saya bertemu lagi dengan si Ebi, dan dia mulai protes dengan kecepatan berjalan saya. Haha… saya sibuk cari alasan ini itu, mulai dari tali sepatu yang lepas melulu (aneh, padahal biasanya tertali dengan rapi), bawaan yang lebih berat (karena bawa tenda), atau jalannya ya santai saja sesuai judul pendakian ini. Toh para penggagasnya juga berjalan dengan sangat santai dibelakang. Yang sudah jalan duluan adalah para pemilik dengkul dewa. Di pos ini banyak pendaki yang beristirahat dulu sejenak, karena setelah pos ini jalurnya memang sudah berubah dari tangga batu yang cukup landai menjadi jalan setapak tanah yang lumayan menanjak.



DSCN0060
Pos Panyangcangan
Setelah dirasa cukup beristirahat, saya dan Ebi mulai jalan lagi. Dan lagi – lagi saya tertinggal. Ah, yang penting sampai ke puncak dan turun lagi dengan selamat pikir saya. Urusan kecepatan berjalan itu bisa dicari banyak alasan. Namun mau tidak mau saya cukup memaksakan diri berjalan untuk menyusul Ebi. Dengkul mulai panas dan sepertinya sudah mau overheated. Dan akhirnya benar saja, dengkul kiri kram. Tidak bisa digerakkan. Saya terpaksa duduk dulu di pinggir jalur pendakian, menunggu kram sembuh. Setelah dirasa agak enakan, saya jalan lagi. Sempat kram lagi. Dengkul kiri dan kanan. Aneh juga. Karena kemarin saat pendakian Gunung Gede lewat jalur Gunung Putri, yang tanjakannya jauh lebih tajam, dengkul saya sehat wal afiat. Pikiran buruk mulai muncul, puncak masih jauh namun dengkul sudah kram. Apakah saya dapat melalui cobaan ini?

DSCN0070
Air Panas
Melewati Air Panas, pikiran saya mulai tenang karena melihat pemandangan di depan saya yang memukau. Air panas ini benar – benar seperti air mendidih, asap mengepul tebal membuat jarak pandang menjadi berkurang. Jalur pendakian memotong aliran air panas, yang berarti kita harus berjalan menyeberang arus ini. Sekilas saat air mengenai kulit, rasanya tidak terlalu panas, namun kalau agak lama dikit, baru terasa panasnya benar – benar menyengat. Untuk itu kami harus berjalan perlahan di atas batu – batuan yang menonjol di aliran arus ini. Dengan hati – hati tentu saja karena sebelah kanan saya adalah jurang yang lumayan dalam.


Setelah melewati air panas, kami berjalan lagi dan sampailah ke pos Kandang Batu. Disini banyak pendaki yang beristirahat karena lokasinya yang lumayan luas dan datar. Ada juga yang mendirikan tenda. Saya dan Ebi tidak mau berlama – lama istirahat di suatu pos, untuk mengejar waktu karena kecepatan berjalan saya yang lambat. Kami berjalan lagi menuju pos selanjutnya, Kandang Badak. Perjalanan ini cukup menyiksa saya karena tenaga yang rasanya sudah mau habis. Yang membuat saya masih terus berjalan adalah rasa gengsi dan malu terhadap para pendaki lain. Masak seorang surveyor tangguh di medan laga pemetaan bisa loyo dan tidak kuat mendorong dirinya sendiri berjalan mencapai puncak.

GPS Garmin Etrex Vista HCX yang selalu ON dan merekam tracking perjalanan selalu saya lihat secara berkala. Kalau – kalau pos Kandang Badak sudah dekat. Dan lumayanlah, saat saya melihat, pos tersebut tinggal 150 meter lagi didepan. Saya bersemangat lagi untuk cepat – cepat mencapai pos ini. GPS ini sudah saya isi peta dari navigasi.net, yang sangat keren karena ada rute jalur pendakian, bahkan waypoint pos Kandang Badak, Puncak Pangrango, Lembah Mandalawangi pun ada. Jadi saya tinggal mengikuti rute tersebut di GPS.

Tak lama kemudian saya mencapai pos Kandang Badak, sekitar pukul 13.00. saya lihat sudah banyak pendaki yang berada disini. Rombongan kaskuser juga sudah berkerumun. Saya mencari Ebi, yang ternyata sedang tiduran di bawah pohon. Kemudian menyiapkan makan siang berupa indomie rebus. Saat itu kami membawa kopi Torabika dan Coffeemix. Saya sduah tau efek samping dari minum kopi adalah panggilan alam. Jadi saya tolak jauh – jauh keinginan untuk minum kopi. Dan Ebi pun meminumnya, yang akan berakibat fatal kemudian. Di pos ini ada sebuah sumber air dengan debit yang sangat melimpah. Airnya benar – benar dingin seperti air kulkas. Inilah enaknya mendaki gunung Gede – Pangrango. Akses dari rumah tidak begitu jauh sehingga bisa dilakukan pendakian pada akhir pekan. Jalur pendakian yang jelas. Ramai. Dan sumber air melimpah. Nantinya di Lembah Mandalawangi pun ada, begitu juga di Lembah Surya Kencana.

Cukup lama kami disini. Sempat tidur sebentar. Saya mengistirahatkan dengkul saya yang sudah masih terasa panas. Pos ini merupakan persimpangan menuju puncak Gunung Gede dan Gunung Putri. Apabila lurus menuju Gunung Gede, belok kanan menuju Gunung Pangrango. Sehingga bisa dibilang inilah pos terakhir sebelum puncak, yang dijadikan para pendaki untuk menyiapkan diri mereka menghadapi jalur terkahir yang semakin menanjak.

No comments:

Post a Comment