Setelah pohon tumbang mulai berkurang, gantian jalur pendakian yang mulai menanjak tajam. Apalagi dengkul saya akhirnya menyerah. Rasa sakit luar biasa kalau dengkul ditekuk. Saya bingung bagaimana caranya mendaki gunung dengan kondisi dengkul seperti ini. Namun mau tidak mau saya harus jalan juga. Akhirnya setiap tanjakan, saya hanya menggunakan dengkul kanan sebagai tumpuan. Dengkul kiri saya non-aktifkan total. Grounded!! Dengan cara jalan yang seperti ini, jelas membuat waktu tempuh semakin lama. Saya lihat di GPS, puncak masih jauh.
Saat berjalan ini, tiba – tiba Ebi berhenti dan buru – buru meminjam pisau serta tisu basah saya. Nah, inilah akhirnya yang ditunggu – tunggu. Perut dia mulai berontak. Saya bersyukur saya sudah mengeluarkan isi perut dan juga tidak mengkonsumsi kopi tadi. Dua kali Ebi memenuhi panggilan alam. Yang kedua malah cukup menggelikan. Karena pada saat beraksi di semak – semak menggunakan sarung sebagai pelindung dari pandangan mata – mata nakal. Saat itu saya duduk di pinggir jalur menunggu dirinya, sempat ada satu pendaki yang berisitrahat sebentar sambil ngobrol dengan saya. Akhirnya muncullah pertanyaan yang benar – benar diluar dugaan, “Mas, masih nungguin temennya itu ya? Lagi solat ya dia mas?” . Hahaha… saya sebenarnya terbahak – bahak dalam hati namun cuma tersenyum simpul saja sambil menjawab “bukan, dia lagi pup mas”.
Setelah dua kali pup, yang dua – duanya saya rekam koordinatnya dalam bentuk waypoint, matahari mulai condong ke barat. Saya heran karena puncak tidak sampai – sampai. Rasa – rasanya jauh bener. Tidak seperti perjalanan puncak Gunung Gede ke Kandang Badak pada pendakian saya sebelumnya. Tadinya saya optimis mencapai puncak sebelum gelap. Namun akhirnya rencana itu gagal total. Saat matahari mulai menghilang, berganti dengan kegelapan, saya masih terjebak di jalur antara Kandang Badak dan puncak. Para pendaki kaskus maupun yang lain tidak ada lagi yang saya temui, hanya saya dan Ebi saja ditemani gelapnya malam. Pendaki dengan dengkul dewa sudah mendahului saya dan sepertinya sudah sampai di puncak. Sementara pendaki di belakang saya nampaknya berhenti mendaki karena mereka tidak juga berhasil menyusul kami yang berjalan sangat lambat ini.
Saat malam mulai semakin larut, suasana menjadi berubah. Tidak ada lagi pemandangan hijaunya pepohonan. Yang ada hanya gelapnya malam. Jalur pendakian menjadi susah dilacak. Banyak persimpangan yang membingungkan kita, ada yang naik tajam ada yang landai. Akhirnya kita pilih jalan setapak yang lebih landai. Ternyata setelah turun keesokan harinya, baru tau kalau keduanya sama saja. Namun suasana malam membuat kita menjadi ragu. Apalagi saat saya melihat GPS, ternyata rute yang kami lewati tidak persis berada di jalur sesuai peta walaupun secara arah tetap sesuai. Saya saat itu hanya berpikir, rute di peta GPS pasti salah, haha.. Karena jalur yang kami lewati berkelok – kelok, sementara di peta hanya lurus – lurus saja.
Setelah mendaki sekian lama, sekitar pukul 21.00, kami sampai di tikungan terakhir sebelum puncak (melihat di peta GPS). Setelah menikung, ternyata jalur berubah menjadi tidak jelas. Saya coba lihat posisi saya, ternyata melenceng jauh dari jalur. Akhirnya saya kembali ke tikungan tadi. Coba mencari jalur yang benar. Namun saya tidak berhasil menemukan jalan setapak. Saya dan Ebi mulai mencoba ke arah lain, yang ternyata salah juga. Lumayan lama disitu muter – muter nggak jelas. Lihat hasil tracking di GPS, memang benar kami cuma muter – muter ditempat. Akhirnya saat kembali lagi ke tikungan tadi, kami melihat sebuah jalan setapak yang cukup bagus. Aneh, padahal dari tadi tidak kelihatan. Akhirnya kami coba lalui sambil mengecek GPS. Dan ternyata betul ini jalurnya. Alhamdulillah…
Tidak lama kemudian kami sampai di puncak. Sekitar pukul 21.30. sepi tidak ada siapapun. Hanya ada pos. Kemudian kami jalan lagi menurun menuju lembah Mandalawangi. Disini sudah banyak tenda berdiri. Nampaknya kami adalah pendaki yang terakhir datang malam itu. Pendaki lain dibelakang menunggu pagi baru naik ke puncak. Tanpa berlama – lama, kami langsung bongkar muat barang. Suhu udara sangat dingin, menusuk tulang. Ditambah lembah ini area terbuka jadi angin cukup leluasa membuat kami mati rasa.
Tenda segera kami dirikan. Tangan sempat kaku mati rasa sehingga susah sekali untuk mendirikan tenda. Setelah siap, langsung saja kami masuk tenda. Makan? Sudah capek sekali rasanya. Pengennya cuma tidur. Buka sleeping bag, masuk, nyamannya… Saat itu dengkul kiri saya masih sakit sekali kalau ditekuk. Semoga malam ini sembuh, kalau tidak saya tidak bisa membayangkan turun gunung dengan dengkul yang tidak boleh ditekuk. Sempat ngobrol sejenak dengan Ebi, kami akhirnya terlelap dalam rasa capek yang luar biasa. Maklum masih pendaki newbie.
Gunung Salak dilihat dari Lembah Mandalawangi |
Setelah puas, kami menyiapkan sarapan. Mie rebus dengan kornet. Satu kaleng kornet kami habiskan berdua saja. Wah, tidak ada yang menandingi rasanya. Kenyang. Santai – santai dulu melepas rasa capek berjuang semalaman untuk naik ke puncak. Ngobrol dengan Ebi, dan kita sepakat kalau tadi malam tidak ada GPS, kami tidak akan berani nekat mendaki. Apalagi kami berdua belum pernah ada yang sampai ke puncak Pangrango. GPS sangat berguna sekali, terutama saat kehilangan orientasi. Dengan fitur tracking yang dinyalakan, kita bisa melihat jejak perjalanan kita sehingga apabila dirasa tersesat, tinggal balik mengikuti jalur yang terekam tadi sehingga kita bisa kembali ke posisi awal.
Gunung Gede dari Puncak Pangrango |
Lanjut lagi turun. Sampai di Air Panas kami berfoto – foto sebentar, yang hasilnya buram karena asap mengepul tebal. Haha.. Sampai di Panyangcangan saya menghela nafas lega. Saat itu sekitar pukul 03.00. Lanjut jalan lagi. Dari sini sampai pos pertama saya merasakan hal yang menggelikan.
Berbeda dengan jalur pendakian Panyangcangan sampai puncak. Dari Panyangcangan sampai ke pos pertama banyak ditemui ABG yang berpakaian ala mall. Trendi dan gaol. Lumayan juga buat cuci mata setelah capek mendaki, karena banyak ABG cewek yang sip. Mereka ini bertujuan ke air terjun Cibeureum. Pertigaan Panyangcangan ini benar – benar membuat suasana berbeda. Yang kearah puncak berdandan ala pasukan berani mati, sementara yang ke air terjun berdandan ala model Fashion TV.
Sampai di Mang Idi lagi sekitar pukul 04.00. Kami makan yang banyak dengan sangat lahap. Dan lanjut naik angkot ke jalan raya Puncak untuk kembali naik bis ke Ciawi. Dari Ciawi naik angkot ke Bogor dan naik bis ke Cibinong. Sampai rumah sekitar pukul 22.00.
Detil Jam Perjalanan:
Jumat, 25 November 2011
22.00 Berangkat dari Cibinong
Sabtu, 26 November 2011
01.00 Nyampai di Cibodas, istirahat
05.00 Bangun, solat subuh, packing ulang
07.00 Start pendakian
08.30 Pos Panyangcangan
13.00 Pos Kandang Badak
21.30 Sampai puncak Pangrango, lanjut ke lembah Mandalawangi
Minggu, 27 November 2011
08.00 Turun dari puncak
10.00 Pos Kandang Badak
15.00 Pos Panyangcangan
17.00 Mang Idi lanjut pulang naik bis
22.00 sampai di Cibinong
No comments:
Post a Comment